Tak Seindah yang Semestinya

“Perjalanan apa yang tengah kau tempuh ini?” Tanyanya padaku pada suatu siang, dihari kamis yang cerah, panas sih sebenarnya. “Perjalanan meninggalkan titik nol kilometer” jawabku sembari mengaduk kopi pesanannku yang baru saja diantar. “Kamu gak mau kopi?” lanjutku.

Sambil tersenyum, senyuman begitu manis yang pernah aku liat tergores di bibir mungilnya, dia menggelengkan kepala. “hmmm baiklah kalo begitu” lanjutku sambil menyeruput kopiku.

Yah, dari situlah segalanya bermula, hingga hari ini, hingga pagi ini dimana aku terbangun dari mimpi, yang selalu dibayang-bayanginya. Dan kuputuskan untuk membuka laptop dan mulai menulis, dengan hanya diiringi 3 buah lagu, yang terus menerus berulang ditelingaku, melalui headphone ku.

Biasanya kugunakan speaker aktif yang ada dikamar, namun karena tetangga kamarku masih terlelap, aku tak mau mengganggu tidur mereka. Toh hari ini adalah hari libur, jadi memang tepat untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Tapi tidak bagiku sabtu lalu, saat ikut berkelana di kota pempek, Palembang. Pun sabtu pagi ini. Sejak jam 6 tadi Sport7 dan Redaksi Pagi telah menjadi sarapanku, mesti kemudian televisiku telah mati kini.

“Bila kau cinta katakan cinta….” Terlantun ditelingaku. Lagu Anima ini adalah lagu ketiga setelah Jika Cinta Dia dari Geisha, dan Yang Terdalam dari band yang saat ini tengah tidak punya nama, karena Peterpan hanya bisa mereka gunakan hingga Agustus lalu, sebagaimana kontrak mereka. Itu juga seperti kata infotainmen yang sempat aku tonton.

Titik nol kilometer telah cukup jauh dibelakang, meski aku tak tau kapan tujuanku kan terlihat. Yang pasti sepanjang perjalanan kali ini, banyak hal baru dan berbeda yang kutemui, termasuk dia.

Dia datang saat kemarau panjang mendera, dan tak setitik pun terlintas tuk membasahinya, hingga musim penghujan datang. Namun begitulah biasanya semua berawal dan bermula, dari ketidaksengajaan yang menyenangkan. Kehadirannya cukup mengusik dan menggugahku.

Ia tak pernah tau, jika apa yang ia lakukan, ia berikan, ia nafikan, ia perlihatkan, bahkan ia bencikan, tak lepas dari tatapan pikiran dan perasaanku. Meski kadang tak datang dari penglihatanku sendiri, namun bisa dari siapa atau apa saja.

Kucoba perkenalkan dia dengan orang-orang terdekatku, meski ia tak ada disisiku. Ku bawa ia berkelana kemana ku pergi, meski ia justru tengah berkelana dengan teman-temannya. Hal indah memang, untuk ukuran negeri di atas awan.

Saat bersamanya kumerasa nyaman, meski selalu dengan masa yang singkat. Dia jauh berbeda memang dari apa yang ada dimasa lalu. Namun perbedaan yang membuatku semakin sayang. Atau tepatnya mulai menumbuhkan perasaan itu.

Sejenak dia membuatku berfikir begitu jauh, begitu dewasa dan berangan-angan. Namun ia pula yang menyadarkanku dengan kenyataan yang ada, saat menapaki kenyataan bahwa dia hadir dengan setengah hati, mungkin.

Dalam langkah demi langkah yang ku tempuh saat berjalan, hingga akhirnya berlari, namun kemudian berhenti sejenak dan berjalan lagi, ia tetap menghiasi detik demi detik langkahku.

Sayang, saat kutiba di persimpangan sebuah kota kecil yang kulalui, ku tak melihatnya. Dia menghilang, dia pergi, dia tak terdeteksi sedikitpun oleh intuisiku. Ia beralih begitu cepat, hingga ku tak sempat melihat sekali lagi senyuman manisnya itu.

Oh tidak, kenyataan inikah yang akhirnya kan menimpaku? Terjadi lagikah ketakutan yang sebenarnya telah kudapat sejak pertama kali mengenalnya? Atau kenyataan yang diungkapkan oleh dua temanku itukah, yang sebenarnya tengah terjadi?

Aku keluar jalur akibat rambu jalan yang menyesatkanku…

Perhatiannya, yang kukira hanya untukku telah menyesatkan dan membutakan mataku. Toh kenyataannya aku tak sendiri,sebelumnya. Dan ketidaksendirian itulah yang membuatku gusar kali pertama menanam rasa. Aku tak mau membuat banyak yang kecewa. Dia, temanku, bahkan diriku sendiri.

Jangan-jangan, rambu itu justru telah menolongku…

Tapi sudahlah, perjalananku menujunya memang terhenti disini. Sejenak atau selamanya, tergantung pada rambu yang akan kutemui kelak, didepan sana.

Perjalanan yang semakin jauh dari nol kilometer, tetap harus berlanjut dengan jalur manapun, dan belum waktunya untuk memutar balik…***

Dari kamar kecilku
Sabtu, 12’09’09 – 08.08’
daenk M@R

Comments