Sabtu,
22 Agustus 2015...
Ah...
Hmm...
Dua
hari lalu, aku hanya terdiam saat terbangun dari tidur, karena entah kenapa,
semua itu muncul begitu saja. Sudah sempat lupa dan tak ingin mengingatnya
lagi, namun bak alarm yang berdering nyaring untuk membangunkanku, ingatan itu
membuatku terjaga teramat pagi. Masih pukul 4 pagi lebih sedikit... Masuk waktu
Subuh pun belum.
Ya,
itulah nyatanya, itulah faktanya. Tak bisa dielakkan, tak mampu ditolak. Itulah
takdirnya. Takdirku. Mungkin juga takdirmu, walau aku kurang sepaham jika
demikian adanya. Karena ini adalah takdir yang (mungkin) kamu ciptakan. Tak
bermaksud menafikan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya.
Meski
terngiang terus dalam kepala namun aku mencoba untuk acuh akan pikiran itu, dan
memulai hari Sabtu itu dengan biasa. Karena memang tak adalagi yang bisa
dilakukan. Toh kamu telah menyudahinya dengan kelabilan dan maaf dengan
kebodohanmu dalam berfikir. Aku hanya jadi penegas berakhirnya rangkaian
keindahan yang awalnya sempat kita rajut ini.
Namun
karena aku manusia yang punya hati dan akal, maka tak salah jika aku sesaat
terbayang akan kegagalan ini, dan sedikit menyayangkannya mengapa harus
terjadi. Tapi itu tadi, karena sudah terjadi, ya dijalani saja. Tak perlu lagi
menyesali, toh memang bukan karena aku semua ini terjadi.
Aku
akui aku masih menyayangkan sikap dan pola pikirmu yang sangat tidak dewasa.
Padahal kesan yang kudapat awalnya kamu jauh lebih maju dan lebih dewasa dalam
berfikir dibanding aku yang sebenarnya jauh lebih tua darimu.
Aku
bahkan belum sempat memujimu dalam tulisan-tulisanku, walau telah hampir penuh
rasanya kepalaku dengan banyaknya kata-kata yang ingin kutuangkan untuk
menggambarkan betapa aku kagum dan menyayangimu. Betapa hidup rasanya akan
begitu indah saat nanti akan menjalani denganmu. Tapi sayang, sekali lagi
sayang, kamu tak memberiku kesempatan untuk memujimu.
Seharusnya hari Sabtu itu adalah masa bahagia bagi kita, bagi dua keluarga besar yang terpisah oleh perairan Laut Jawa, ketika sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kirimu. Namun itu menjadi sebuah kisah yang berakhir bahkan sebelum mulai diceritakan.
Seharusnya hari Sabtu itu adalah masa bahagia bagi kita, bagi dua keluarga besar yang terpisah oleh perairan Laut Jawa, ketika sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kirimu. Namun itu menjadi sebuah kisah yang berakhir bahkan sebelum mulai diceritakan.
Ini
adalah “seharusnya” yang dari sisi manapun diinginkan setiap manusia. Namun
kini tak lagi. Kini ini semua telah menjadi Seharusnya yang tak lagi aku
harapkan, jika itu bersamamu. Kecuali jika memang kamu akhirnya sadar dan
meminta maaf, dan pada saat bersamaan aku memiliki kekuatan dan kelapangan
untuk mampu memafkan dan menerimamu kembali. Aku yakin itu akan teramat sangat
amat sulit.
Aku
yakin ini adalah hal indah. Hal yang menyenangkan. Hal yang selama ini aku
impi-impikan. Namun entah dengan siapa. Yang pasti aku melihat bukan dengan
kamu. Ah... Andai saja... Tak bermaksud menyesali, namun kamu sempat membuatku
berpikir bahwa kamu hanya hadir untuk menyia-nyiakan waktuku. Namun aku sadar
bahwa kehadiranmu yang awalnya indah, namun menyakitkan adalah takdirku.
Ujianku. Yang Insya Allah adalah pelajaran berharga dalam hidupku, yang kelak
ketika tiba hari dimana waktu ujiannya tiba, aku akan lulus dengan predikat
terbaik.
Ada
rasa marah. Ada rasa benci. Ada rasa dendam. Namun apa iya aku harus berniat
jahat dalam doaku agar kamu merasakan pahit getir ini semua seperti yang sempat
aku rasakan? Tentu tidak. Karena bagaimanapun, didalam segumpal daging itu,
didalam apa yang disebuat hati dan perasaan itu, pernah tertoreh rasa cinta dan
sayangku untukmu. Walau saat ini bagai ombak yang mengikis karang, aku tengah
dalam proses mengikismu dari perasaanku.
Jakarta,
240815-11.00
@daenkmar
Comments